OMK

History


Mudika muncul pertama kali untuk menyebut dinamika kaum muda Katolik parokial di Keuskupan Bogor tahun 1974, dan diterima secara luas semenjak tahun 1985 akibat munculnya UU Ormas waktu itu, sebagai wadah baru orang muda Katolik di wilayah teritorial.
Kalau mau jujur, eksistensi Mudika tidak terlepas dari intervensi Orde Baru dalam mendepolitisasi massa pemuda pada waktu itu (melalui UU no. 8 tahun 1985, tentang Keormasan), antara lain dengan melarang organisasi massa hadir di lingkungan tempat ibadat.
Akibatnya Pemuda Katolik sebagai wadah utama orang muda, sebagai ormas pemuda harus mengambil jarak dari gereja, dan menempatkan diri mereka menurut garis administrasi pemerintahan (kecamatan-kabupaten/kota-provinsi) dan tidak lagi mengikuti garis teritorial gereja (paroki-kevikepan-keuskupan).Pemuda Katolik sendiri sangat kuat karakter politiknya, dan memegang peran kunci dalam formasi orang muda Katolik teritorial saat itu.
Akibat proses ini, terjadilah kekosongan institusi pendampingan orang muda di lingkungan paroki. Seksi Kepemudaan Dewan Paroki jelas hanya memenuhi tuntutan struktural dewan dan bukan sebuah komunitas yang bisa menampung dan mendampingi orang muda Katolik secara massal.
Maka dibentuklah Mudika, Muda-mudi Katolik, sebagai komunitas orang-orang muda Katolik, sekedar sebagai pengisi sementara bagi kekosongan organisasi yang terjadi.Sayangnya hingga saat ini, agaknya status darurat ini belum tercabut.Sementara arah, visi, dan misinya tetap tak jelas terumuskan. 
di tahun 2005 dicetuskan terminologi OMK, orangmuda Katolik, sebagai istilah baru untuk menyegarkan kembali dinamika kaum muda Katolik.
Apapun istilahnya, spirit dasarnya sederhana, mengajak kembali orang-orang muda Katolik pada semangat dasar yang tercetus melalui ormas pemuda Katolik yang lain di tahun 1940-50an, MKI, Muda Katolik Indonesia. Kembali ke semangat Kemudaan, Kekatolikan, dan Keindonesiaan !
Mudika adalah semua orang Muda Katolik Indonesia, yang baik bersama-sama maupun sebagai pribadi memiliki, mengolah, dan mengembangkan dalam dirinya empat kualitas dasar :
1. Kemanusiaan
2. Kemudaan
3.Kekatolikan
4. Keindonesiaan
Seorang Mudika adalah seorang Muda Katolik Indonesia yang sepenuhnya memiliki, siap untuk bertanggung jawab atas, sedia terlibat dan bekerja bersama-sama bagi masa depan yang bermartabat bagi diri pribadinya, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan itu sendiri.
Mudika adalah seorang Muda Katolik Indonesia yang :
1. sadar dan mampu mengemban peran dan tanggung jawabnya sebagai orang muda dalam tugas kebangsaan yang dipercayakan kepadanya sebagai anak negeri Indonesia,
2. sadar dan mampu mengemban tugas dan panggilan kemanusiaannya untuk selalu berpihak pada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, mereka yang senantiasa menjadi korban dari ketidakadilan dan kerakusan kekuasaan,
3. sadar dan mampu mengemban tugas dan panggilannya sebagai warga Gereja, sebagai penerus tradisi iman beserta ajaran-ajarannya, sekaligus sebagai satu komunitas peziarahan dan perjuangan hidup bersama menuju sang Kasih Sejati, yakni Allah sendiri.
4. sadar dan mampu mengemban tugas hakikinya sebagai orang muda, dalam menyempurnakan diri pribadi dan semua talenta yang dipercayakan kepadanya, dalam memperjuangkan impian dan idealisme kemudaannya, dalam kesadaran penuh bahwa masa depan yang ia perjuangkan adalah pula masa depan dari masyarakat, bangsa, gereja, dan kemanusiaan itu sendiri. Maka, menjadi sebuah keniscayaan baginya untuk bekerja bersama dengan semua sesama orang muda melintasi batas kebudayaan dan agama, menjadi daya gerak utama transformasi sejarah bangsanya,
5. maka, menjadi sebuah keniscayaan pula, seorang Mudika pertama-tama haruslah mengerti, mendalami, dan menghidupi semangat, teladan hidup, dan ajaran Sang Kasih sendiri, yakni Kristus, Sang Manusia Muda yang secara khusus disampaikan kepada jaman ini lewat perantaraan Gereja Kudus. Demikianlah, menggereja menjadi kesempatan pembelajaran hidup yang pertama bagi seorang Muda Katolik, tanpa menjadi mati dan beku di dalamnya.
Nilai Dan Kapasitas Dasar Seorang Mudika
Untuk itu ada nilai dan kapasitas dasar yang harus dihidupi oleh seorang Mudika :
1. Sensus Catholicus, roh dan wawasan hidup Kristiani
2. Spirit kemanusiaan, keberpihakan pada kaum lemah dan tertindas
3. Semangat Kemudaan, spontanitas, kegembiraan, persa-habatan, keberanian, ketahanan.
4. Sensus Kulturalis, kesadaran mendalam akan kebuda-yaan dan peradaban kemanusiaan, serta akan realitas sosial sehari-hari masyarakatnya
5. Kesadaran Kritis, peka dan cerdas membaca tantangan sosial riil dalam hidup kesehariannya
6. Man of Action, berani bersikap, terlibat, dan bertin-dak kongkrit
7. Manusia dan Komunitas Proses, aksi-refleksi, pembela-jaran individual dan kolektif, spiral pastoral
Komunitas Mudika
Komunitas Mudika adalah rumah pembelajaran hidup bersama secara teritorial untuk memampukan kita mengemban tugas kebudayaan sebagai Orang Muda, Katolik, dan Indonesia.
Komunitas Mudika adalah cara kita berkumpul, cara kita menyatukan diri, cara kita memadukan sumber-sumber daya di tengah kita, cara kita berjuang, cara kita bertanggung jawab atas panggilan kemanusiaan, bagi siapa saja yang lemah miskin dan tersingkir, panggilan menggereja dalam iman, serta menjawab tantangan kebangsaan sebagai pemuda Indonesia.
Tujuan Komunitas
Hidup komunitas diarahkan pada :
1. Pembelajaran Diri dan Komunitas : Mudika adalah ruang tumbuh bagi diri dan komunitas lokalnya
2. Pembelajaran Iman dan Gereja : eksistensi spiritual dan praksis iman
3. Transformasi Sosial menuju Masyarakat Adil dan Manusiawi : ekstensi kemanusiaan dan kebangsaan.
Ciri Khas dan Kekuatan Komunitas Mudika
1. Spirit kemudaan (spirit of youth), gembira, berani, nakal, dan spontan
2. Katolisitas dan tradisi menggereja
3.Kebangsaan-keindonesiaan
4.Komunitas proses-komunitas transformatif
5.Keterlibatan, persahabatan, dan persaudaraan
6.Teritorial dan lokal
7.Perbedaan dan kesetaraan sebagai kekuatan
8.demokratik-partisipatif ke dalam & ke luar dirinya
9. berorientasi tindakan kongkrit, dan pergulatan hidup yang nyata
Nilai dasar pengorganisasian Komunitas Mudika adalah :
1. Demokratik-Partisipatif
o Saling kontrol, saling mengapresiasi, saling menumbuhkan
o Keterlibatan : dari, oleh, dan untuk semua
2. Emansipatoris-transformatif
o Merubah dan memberdayakan diri baik individual maupun kolektif dalam komunitas
o Merubah masyarakat dan dunia sekitar
3. See – judge – act : Merintis dan mendorong perubahan masyarakat berpijak pada Spiral Pastoral :
o Berpijak dan bersatu dengan kenyataan
o Merenungkan/merefleksikan kenyataan
o Merencanakan dan mempersiapkan perubahan
o Bertindak dan merubah kenyataan
o Mengevaluasi dan belajar dari kenyataan

Prinsip Pengorganisasian Bersama
 Kita butuh prinsip pengaturan bersama, yakni cara komunitas kita bergaul dan hidup dalam masyarakat komunitas-komunitas :
1. Setiap komunitas adalah lingkaran pemberdayaan : Setiap komunitas wajib membangun dirinya menjadi komunitas yang sekalipun kecil, tetapi lincah, hidup, kritis, bertindak kongkrit, dan visioner. Setiap komunitas harus terus berjuang untuk bertumbuh dan bergerak maju mewujudkan visi dan misi bersama, pertumbuhan iman, karakter, dan wawasan anggotanya, pertumbuhan gereja lokalnya, serta transformasi dunia sekitarnya.
2. Otonomi : otonomi tiap basis komunitas sangat dihargai, namun masing-masing basis harus memegang teguh prinsip-prinsip pengorganisasian bersama ini.
3. Jejaring, communion of communities : Setiap komunitas harus berjejaring dengan komunitas lain, terlebih komunitas-komunitas yang berdekatan secara geografis dan administratif kegerejaan. Bukan organisasi hirarkhis-teritorial, namun jejaring komunitas-komunitas, yang mengelompokkan diri berdasarkan kedekatan teritorial gerejawi (blok-lingkungan-wilayah/stasi-paroki-rayon-kevikepan-keuskupan).
4. Antar komunitas harus saling bekerja sama dan berkomunikasi secara rutin, demokratis, fair, dan terarah untuk mengkomunikasikan perkembangan, tantangan, dan hal-hal baru yang terjadi di masing-masing basis pengorganisasian Mudika.
5. Hubungan simpul-simpul komunitas Mudika adalah hubungan subsidiaritas-solidaritas.
Subsidiaritas : yang lebih besar menopang yang lebih kecil dengan mengisi hal-hal yang tidak mungkin digarap di tataran simpul yang lebih kecil (pelatihan penggerak Mudika Lingkungan oleh Mudika Paroki, pembentukan simpul-simpul Mudika se-paroki, dst).
Solidaritas : mereka yang setara harus saling mendukung dan solider satu sama lain (antarlingkungan, antarstasi/wilayah, dan antarparoki)
Maka hubungan kepengurusan Mudika antara Mudika Paroki yang bertanggung jawab antas kaum muda Katolik separoki dengan Mudika Wilayah/Stasi/Lingkungan tentu saja lebih bercorak fasilitasi untuk berjejaring, untuk peningkatan kapasitas, dan pelatihan pengkaderan, maupun bentuk support yang lain.
6. Serta kesepakatan-kesepakatan lain yang dibangun sebagai kearifan hidup bersama setempat secara adil dan demokratis dan dipelihara di masing-masing gereja setempat.

 

 

Visi Dan Tujuan 

 VISI DASAR

 OMK yang sepenuh-penuhnya setia kepada Yesus Kristus dan seutuh- utuhnya berjiwa Pancasila sehingga mampu  mengembang panggilan Kristiani dan tugas kebangsaan  dalam hidup menggereja, bermasyarakat dan bernegara.

 LANDASAN

Dengan demikian, kegiatan OMK sebagai karya pastoral, berlandaskan iman Katolik dan Pancasila.
Berlandaskan iman Katolik berarti menempatkan iman Katolik sebagai pusat dan dasar, serta sumber motivasi dan inspirasi dalam seluruh karya pelayanan pastoral  OMK. OMK diarahkan pada penghayatan iman sebagai hubungan pribadi dengan Allah, yang diungkapkan dalam kesatuan dengan iman Gerejawi yang satu dan rasuli, serta diwujudkan lewat kesaksian hidup di tengah masyarakat.
Berlandaskan Pancasila berarti menjadikan Pancasila sebagai azas karya pembinaan yang mengarahkan kaum muda untuk memahami, menghayati, mengamalkan, membela dan mem- pertahankan, serta mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagaimana dirumuskan dan terkandung di dalam Pancasila.


TUJUAN DAN SASARAN
 

Tujuan kegiatan OMK adalah berkembangnya diri OMK sebagai manusia dan sebagai orang Katolik Indonesia yang tangguh, tanggap, dan terlibat dalam hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 

Sasaran Kegiatan OMK
 

Kualitas OMK  yang ingin dicapai sebagai sasaran kegaitan OMK:
  1. Berkepribadian kuat dan memiliki keyakinan diri yang kokoh, suara hati yang jernih, kebebasan dan tanggung jawab pribadi yang berdaya cipta dan membangun, serta kemauan untuk belajar terus-menerus.
  2. Beriman teguh dan tangguh dalam hidup berdampingan, berdialog dan berintegrasi dengan sesama warganegara yang berkeyakinan lain.
  3. Memiliki kepekaan dan kepedulian sosial, serta solidaritas terhadap sesama, khususnya yang lemah dan menderita serta keberanian menyuarakan kebenaran, keadilan, keyakinan berdasarkan nilai, suara hati dan kesejahteraan umum.
  4. Memiliki semangat berorganisasi yang didukung oleh jiwa kepemimpinan dan kepeloporan.
  5. Memiliki kemauan dan kemampuan untuk terlibat serta berperan aktif dalam hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

 

Description


1. Pengantar

Orang Muda Katolik (OMK) Indonesia sebagaimana orang muda pada umumnya ialah penentu masa depan. Gelora semangat orang muda menjadikan orang  yang tidak muda lagi, memiliki berpengharapan. Jika Gereja dan bangsa memiliki orang muda yang bersemangat, penuh kasih, bertanggung jawab, berwatak luhur, beriman, maka sebagian besar dari kita tentu sepakat bahwa kita memiliki masa depan yang cerah, bahwa Gereja kita bukan calon museum belaka, dan bangsa kita bukan calon negara gagal. Tanggungjawab kita-lah untuk menentukan masa depan itu, sebagaimana kita dididik oleh para pendahulu kita sampai menjadi seperti sekarang ini. OMK memerlukan bimbingan dari para pendamping.  Para pembina OMK mesti mewujudkan syukur  atas pendidikan yang mereka terima dengan ikut bertanggungjawab mendidik orang muda demi masa depan. Maka kita mesti mengenal ciri pokok orang muda, dan mengenal apa kompetensi menjadi pendamping OMK.

2. Tiga Ciri Orang Muda: Jati Diri, Ketidakpastian, Hubungan-Hubungan

Jati Diri: OMK dipanggil untuk menjadi dirinya sendiri – yaitu menjadi  diri sendiri seperti yang dikehendaki Tuhan.  Hanya dengan mengetahui jati dirinya sesuai yang dikehendaki Tuhan, maka OMK bisa membangun dunia dan handal. Meminjam kata-kata Santa Katharina dari Siena (1347-1380), “Be who God meant you to be and you will set the world on fire”.
Namun, orang muda masa kini, tak terkecuali di tempat kita, sedang mengalami ketimpangan biologis-psikososial.   Kebutuhan untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan telah memperpanjang masa muda mereka, dan menunda masa “mentas” mereka. Di alam pedesaan tradisional pemuda dinyatakan lulus dari remaja ke dewasa dengan pernikahan dini. Sekarang orangtua diharapkan untuk merawat orang dewasa muda  lebih lama lagi. Sementara itu perbaikan diet dan kondisi lingkungan yang lebih baik telah mengakibatkan pubertas awal. Jadi, anak-anak secara biologis siap untuk menikah lebih awal daripada di masa lalu, namun kini mereka harus menunda pernikahan karena alasan psikososial. Ada ketimpangan antara perkembangan biologis yang lebih cepat dan kematangan psikososial yang lebih lambat. Pengenalan Jati diri menjadi makin susah dalam situasi ini.
Ketidakpastian: Dari sisi sosio-ekonomi,  Umat Katolik Indonesia terbagi menjadi dua: sekitar separuh menikmati kesejahteraan yang membuat mereka gampang meraih apa yang mereka inginkan, dan separuh masih berjuang untuk meningkatkan taraf kesejahteraan mereka.  Bagi Orang Muda Katolik (OMK) dari kalangan kaum beruntung, sering ada beberapa pilihan pekerjaan yang bermanfaat bagi mereka. Bagi OMK yang dari kalangan kurang beruntung, hampir tidak ada pilihan sama sekali. Setengah pengangguran atau pindah-pindah kerja (bekerja tidak sesuai dengan ilmu yang dipelajari) mengalami peningkatan jumlah. Bagi kebanyakan OMK, wajah mereka menampakkan ketidakpastian masa depan.
Hubungan-Hubungan: Sementara OMK masih bergulat dengan jati diri yang tak kunjung jelas, dan berjuang mendapatkan pekerjaan, maka OMK harus belajar membangun relasi antar-pribadi dalam keluarga, teman sebaya dan menemukan jodoh atau panggilan hidup (mau pacaran dan menikah, atau melajang, atau selibat demi Kerajaan Allah?). Suatu relasi-relasi yang membelit mereka dan bisa membingungkan jika tidak didampingi secara bijaksana. Mereka membutuhkan relasi yang bermakna, bukan hanya “just for fun” maupun main-main.

3. Dunia Kita

OMK, seperti sebagian dari kita juga, hidup dalam beberapa dunia. Tidak aneh, karena kita ini multidimensional. Sekularisasi yang baik membawa di dalamnya cara pandang buruk sekularistik: penyembahan dewa-dewi ilmu pengetahuan (idols of science), teknologi dan kemajuan wahana elektronika, pengejaran tiada henti atas pertumbuhan ekonomi, agama konsumeristis dengan “katedral-katedral shopping mall”, proses peningkatan budaya, bukan saja gaya hidup impor dan perilaku, atau jeans dan KFC yang tampak fisik, namun juga penerimaan tanpa sadar atas nilai-nilai konsumeristis dalam budaya instan dan budaya “klik copy-paste”.
Sekarang, giliran kita berpikir. Bagaikan permainan bola sodok, manakah bola putih  yang ketika kita sodok, maka akan mengenai bola-bola lainnya? Manakah yang pertama-tama kita bidik, agar OMK bisa memecahkan aneka masalah mereka sekaligus membuat mereka beranjak dewasa?  Saya setuju dengan pandangan bahwa semua persoalan mesti kita dekati mula-mula dengan Spiritualitas. Namun spiritualitas yang mana? Tentu saja Spiritualitas Katolik/Kristiani, dengan mengindahkan spiritualitas lokal kita yang khas sebagai bangsa Indonesia atau Asia Tenggara, atau khas Asia. Karena Yesus orang Asia dan para nabi pun tiada beda dengan-Nya, ialah orang Asia.

4. Spiritualitas Dialog

Gereja mengharapkan OMK tangguh imannya dan tanggap –peduli terhadap keprihatinan masyarakat. ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan warga masyarakat khususnya yang miskin dan menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan OMK pula ” (bdk GS 1). Jika kunci yang bisa membuka pembinaan OMK ialah spiritualitas, maka spiritualitas dialog merupakan jalan utama menuju pembinaan OMK di berbagai pembinaan.
Sekarang, dialog merupakan cara satu-satunya bagi perdamaian dan bahkan bagi pembentukan karakter manusia. Karena itu, dengan memperhatikan ciri-ciri dan konteks di atas, kita hendaknya mengembangkan spiritualitas dialog sebagai dasar dari pembinaan OMK.

5. Jago Kandang Saja ?

Ada ungkaan mengatakan: ”OMK itu jago kandang saja. Beraninya berkokok di kandang sendiri seperti ayam jantan kate, tidak berani bergaul dengan kelompok di luar kelompoknya sendiri.” Benarkah? Ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya. Jika demikian, prinsip-prinsip kaderisasi macam apa yang dibutuhkan untuk menjawab harapan OMK yang beriman mendalam dan tangguh serta berani terlibat dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia yang plural ini?
Saya menawarkan spiritualitas dialog sebagai landasan kaderisasi. Spiritualitas yang pada dasarnya tidak asing bagi OMK, yaitu yang mengalir dari dialog Allah sendiri dengan manusia, melalui Yesus Kristus Putera-Nya dalam Roh Kudus. OMK sendiri harus mengalami hidup nyata yang dibimbing oleh-Nya, mengalami Allah dalam kehidupan. Mereka mesti diajak refleksi untuk menemukan makna iman atau nilai kehidupan tertentu dalam peristiwa dan perjumpaan dengan sesama yang beraneka ragam.
Setelah prinsip dasar spiritualitas, barulah menyusul aneka kemampuan lainnya untuk diberikan dalam kursus kaderisasi. Namun demikian, kaderisasi sejati bukan pada kursus kaderisasi yang hanya empat-lima hari atau satu minggu atau satu bulan. Tidak demikian. Kaderisasi sejati ada dalam pendampingan OMK terus menerus sampai mereka mentas. Biarkan mereka mengalami sendiri dinamika hidup itu, kemudian didampingi dengan mengajak mereka merefleksikan pengalaman dalam Tuhan, lalu beraksi kembali dan seterusnya. Inilah prinsip ”see-judge-act” yang menjadi pokok pendampingan dan kaderisasi. Sebenarnya, inti kaderisasi sederhana saja, yaitu penemuan jatidiri yang dikasihi dan dikehendaki Allah untuk berbuat nyata dalam kehidupan yaitu mau berdialog dengan realitas kemiskinan, dialog dengan realitas budaya-budaya dan dialog dengan agama-agama. Intinya, OMK yang berbuat kebaikan konkret.

6. Pendamping yang Tangguh

Di balik sosok OMK yang tangguh dan berkiprah dalam masyarakat, ada pendamping yang tangguh pula. Tak mungkin seorang pemain sepakbola berprestasi tanpa seorang pelatih yang bertangan dingin dan berpengalaman. Maka yang diperlukan sekarang ialah para pendamping yang sadar akan jati dirinya sebagai pendamping, mengalami kasih Allah sendiri dan mengasihi OMK. Justru sekarang, fokus kami Komisi Kepemudan KWI ialah para pendamping yang kami cita-citakan: memiliki pengalaman rohani yang dalam, mau belajar mengembangkan diri, memiliki hati dan cinta yang besar untuk OMK yang didampingi, serta menjadi teladan dalam menggereja dan memasyarakat. Para pendamping itu pertama-tama ialah orangtua dalam keluarga. Berikutnya ialah para pendamping yang ditugasi oleh paroki serta keuskupan. Sedangkan kami membantu melengkapi dengan pendidikan para pendamping di tingkat regio dan keuskupan.

7. Kemampuan Pembina:  Penggerak (Animator), Pendamping (Chaplain), Pembina/Pemimpin (Leader)


7.1 Penggerak (Animator)

Kemampuan yang dituntut dari seorang penggerak adalah:
1. Kepribadian: mengenal diri (kecenderungan psikologis, seksual-hormonal, sosial-budaya sekitar); daya empati-simpati; daya juang, ingin lebih maju/ menanggapi secara positif.
2. Hidup Rohani: punya kemauan untuk makin mengenal Kristus dlm GerejaNya (keinginan menggeluti Kitab Suci, Sakramen, pernah mengerti dokumen Gereja dan beberapa kutipan penting).
3. Hidup Intelektual: keingintahuan (indikasi: membaca, menulis). Menguasai bidang minat tertentu..
4. Berminat pada Pergaulan – Budaya – Kesenian – dan Badan yg sehat
5. Memiliki (dan dimiliki oleh) sebuah Komunitas
6. KETRAMPILAN :
- memimpin animasi (gerak-lagu) bahkan secara spontan.
- memimpin pertemuan terbatas, misalnya 10-20 orang
- memimpin doa bersama dan ibadat sabda ringkas

7.2 Pendamping (Chaplain)

Memiliki Kemampuan Dasar Penggerak ditambah beberapa hal berikut ini:
1. Kepribadian: Daya Tahan (asertif), terbuka terhadap perkembangan, memiliki penguasaan diri secara emosional.
2. Rohani: Mulai mengalami kedalaman relasi dengan Kristus dalam Gereja-Nya
3. Penghubung antar komunitas
4. Ketrampilan memotivasi agar yang didampingi berani maju / Public appearance meyakinkan.

7.3. Pembina/Pemimpin (Leader)

Memiliki kemampuan Penggerak + Pendamping  ditambah hal-hal berikut ini:
1. Kepribadian: Daya ubah dari dalam (transformatif) menuju keadaan rendah hati.
2. Rohani: Kemampuan menangkap rahmat untuk tetap tinggal bersama Kristus dalam GerejaNya pada situasi tekanan, kesimpangsiuran,  maupun kesepian rohani yang akut. Mulai menjadi pesan Injil, bukan hanya penyampai pesan Injil. Menjadi tanda harapan. Berserah, semua untuk Tuhan saja. Demi makin besarnya kemuliaan Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa OMK (bdk. St Ignatius Loyola, ”Latihan Rohani”no 23, azas dan dasar), yang bisa diartikan demi makin besarnya  OMK yg kupimpin.
3. Intelektual: Visioner dan memiliki kebijaksanaan.

8. Penutup

Sebagai pembina OMK, kita di tingkat mana? Semoga Pembina OMK mendampingi Orang Muda Indonesia, bersemangat dan terampil menyambut estafet kepemimpinan dan pembudayaan Gereja Katolik dan bangsa Indonesia sekarang dan ke depan.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates